Di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, ada sosok-sosok inspiratif yang terus bergerak melawan dampaknya melalui konservasi lingkungan.
Melalui aksinya, mereka tidak hanya menyelamatkan ekosistem pantai dari abrasi, tetapi juga menjaga kehidupan masyarakat pesisir yang bergantung pada keberlanjutan alam.
Baca juga:
Fenomena Dampak Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir
Perubahan iklim di Indonesia membawa dampak serius, seperti ketidakpastian hasil pertanian akibat perubahan pola curah hujan hingga peningkatan risiko penyebaran penyakit melalui vektor baru.
Naiknya suhu laut juga menurunkan produktivitas sektor perikanan, sementara kerusakan lingkungan makin memperparah bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Di pesisir utara Jawa, Dusun Rejosari Senik di Demak sejak awal 2000-an mengalami rob akibat kenaikan permukaan laut dan abrasi pantai. Kondisi ini memaksa sekitar 200 keluarga pindah pada 2006 demi mencari tempat tinggal yang lebih aman.
Sementara di Pulau Pari Kepulauan Seribu Jakarta, perubahan iklim menyebabkan abrasi pantai dan juga memengaruhi hasil tangkapan nelayan.
Abrasi pantai juga mengancam pesisir Tambakrejo di Semarang. Daratan yang dulunya berjarak 1,5 kilometer dari pantai kini makin terkikis, menenggelamkan pemukiman, infrastruktur, dan bahkan makam umum warga.
3 Sosok Inspiratif, Lakukan Upaya Penghijauan di Kawasan Pesisir
Dampak perubahan iklim yang kian terasa nyata di kawasan pesisir membuat beberapa orang tergerak. Orang-orang ini merasa perlu adanya aksi konservasi dan rehabilitasi lingkungan guna mengurangi dampak perubahan iklim di lapangan.
Siapakah orang-orang tersebut?
Sururi, Profesor Mangrove dari Mangunharjo Semarang
Di pesisir utara Semarang, tepatnya di Pantai Mangunharjo, terbentang hutan mangrove yang subur berkat upaya pelestarian ekosistem yang telah dilakukan. Keberhasilan konservasi mangrove ini tidak lepas dari peran Sururi, seorang penggerak lingkungan yang mendedikasikan hidupnya untuk menanam dan merawat mangrove.
Sururi memulai aksinya karena khawatir dengan ancaman abrasi, mengingat minimnya pohon mangrove di pesisir.
Meski sempat diragukan, usaha Sururi menanam mangrove membuahkan hasil. Penanaman tersebut berhasil mengurangi abrasi dan memulihkan daratan. Dahulu, jarak antara kampung dan pantai tak sampai 1 kilometer, tetapi kini jaraknya mencapai 3 kilometer, berkat keberhasilan rehabilitasi mangrove di wilayah tersebut.
Mak Jah, Bersama Keluarga Memilih Menetap di Kampung Tenggelam Menanam Mangrove
Di pesisir utara Jawa, tepatnya di Desa Bedono, Demak, Mak Jah dan keluarganya memilih tetap tinggal meski kampung mereka terendam air laut. Sejak banjir rob pada 2001 menenggelamkan 200 rumah, hanya Mak Jah yang bertahan di dusun itu.
Alih-alih pindah, Mak Jah memilih fokus menanam dan merawat hutan mangrove di sekitarnya. Bagi Mak Jah, merawat mangrove adalah tanggung jawab besar karena banyak makhluk hidup bergantung pada ekosistem ini. Selama lebih dari 10 tahun, Mak Jah telah menanam puluhan ribu mangrove untuk memulihkan lingkungan di Desa Bedono.
Teh Aas dan Edi Mulyono dari Pulau Pari
Edi Mulyono adalah seorang petani dan nelayan di Pulau Pari yang sejak 2015 aktif dalam upaya konservasi mangrove bersama Kelompok Forum. Usahanya bertujuan menjaga kelestarian lingkungan Pulau Pari yang semakin terancam.
Selain Edi, perempuan seperti Teh Aas juga berperan penting dalam upaya ini. Bersama kelompok perempuan nelayan, mereka berjuang mempertahankan kelestarian tanah kelahiran mereka di Kepulauan Seribu.
Pada Juni 2023, Edi bersama rekan-rekannya berangkat ke Eropa atas undangan dari European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR) untuk menyampaikan kampanye gugatan iklim di forum Re 2023 di Berlin, Jerman.
Forum ini, seperti yang dilaporkan WALHI, sangat penting karena dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan global, mulai dari ilmuwan, jurnalis, akademisi, hingga pembuat kebijakan.
Edi hadir untuk menggalang dukungan internasional atas perjuangan masyarakat Pulau Pari dalam memperjuangkan keadilan iklim. Menurut Edi, perubahan iklim tidak hanya mengancam Pulau Pari, tetapi juga masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil lainnya.
Copyright © Sekolah Relawan 2023