Laporan implementasi program Sekolah Relawan
Seminggu sebelumnya, aku mengetahui kalau Sekolah Relawan akan mengadakan Ekspedisi Ramadhan. Tanpa ragu, aku langsung tandai di kalender untuk ikut Ekspedisi Ramadhan ke Kampung Muncai. Betapa menyenangkannya bisa hidup bersama masyarakat selama sehari, di bulan Puasa pula.
Singkat cerita, tibalah hari Sabtu, 15 Maret 2025. Perjalanan untuk mencapai Kampung Muncai tidaklah mudah. Kurang lebih lima jam perjalanan yang harus kutempuh dari stasiun Pasar Minggu ke Kampung Muncai, dengan menggunakan tiga moda transportasi: motor, kereta, dan elf. Sepanjang perjalanan dari Rangkasbitung ke Kampung Muncai, aku memperhatikan pembangunan di sana masih kurang merata. Lebak seperti daerah pedesaan yang belum banyak tersentuh peradaban modern.
Meski perjalanannya panjang, Ekspedisi Ramadhan ke Kampung Muncai meninggalkan kesan mendalam yang menempati sudut-sudut pikiranku. Kenangan yang akan selalu kuingat sampai akhir hayat (lebay banget!). Perjalanan ini akan sangat layak kuceritakan kepada anak dan cucuku kelak karena ada tiga hal menarik sepanjang menginap di sana.
Guyubnya orang kampung
Sesampainya aku di Kampung Muncai, aku merasakan kehangatan yang asing. Kehangatan yang sudah lama tidak kurasakan dari ibukota. Senyum merekah setiap aku berpapasan dengan warga kampung. “Mungkin sudah lama mereka tidak kedatangan tamu dari kota,” itu asumsi awalku. Asumsiku sepertinya salah.
Warga Kampung Muncai benar-benar ramah. Bukan ramah yang dipaksakan seperti warga ibukota. Aku merasakan sendiri perbedaannya. Warga kampung menerima para relawan dengan tangan terbuka. Seakan kami adalah saudara yang kembali setelah merantau lama. Padahal, warga kampung tahu kalau para relawan hanya menginap selama sehari - bahkan kurang.
Warga kampung menjadi teman ngobrol yang menyenangkan. Mereka tertawa ketika aku melontarkan beberapa jokes receh. Salah satu yang aku ingat adalah percakapan setelah aku cosplay jadi penerima manfaat sebuah brand. Aku bilang begini, “Alhamdulillah dapat face wash. Bisa bersihin muka saya yang kotor.” Warga pun langsung tertawa. Memang menyenangkan kalau jokes kita diterima.
Gotong royong
Agenda pertama setelah tiba di Kampung Muncai adalah memasak makanan untuk berbuka puasa. Para relawan terbagi ke dalam beberapa kelompok dengan tugas spesifik. Meskipun sudah dibagi, pada akhirnya, kami melakukan apapun. Ada yang memotong sayuran, mencabut tangkai cabai, memasak nasi, memasak capcay, menggoreng ayam, hingga mencuci peralatan memasak.
Suatu waktu, aku disuruh mencuci tambah besar. Sulit sekali membersihkannya karena ada noda di sana-sini. “Ini kenapa kotorannya nggak ilang, ya?” pikirku. Melihat aku kesulitan, ada satu warga yang langsung memberikan lap dan menyiramkan air untuk membantu membersihkan tambah tersebut. Maklum, perihal mencuci, aku sangat amatir. Aku merasa terbantu dengan gestur si bapak yang baik hati.
Itu mungkin pengalaman kecil, tetapi tidak semua orang mau berinisiatif membantu. Pengalaman tersebut jadi pelajaran penting bagiku. Penting agar kita mengamati sekitar untuk melihat siapa yang membutuhkan bantuan, apalagi di tengah kerja kolektif seperti memasak. Aku juga memperhatikan warga Kampung Muncai gotong royongnya sangat kuat. Beberapa waktu sekali, aku mendengar teriakan ibu-ibu minta tolong ambil ini dan itu. Dan ibu-ibu yang lain bergerak cepat langsung memenuhi permintaan si ibu. Keadaannya seperti pasar, tetapi sikap kami tidaklah pasaran.
Kami memasak selama tiga jam, namun anehnya tidak terasa lelah. Gotong royong disertai tawa memang membahagiakan. Para relawan siap sedia mengerjakan apapun yang dibutuhkan. Warga pun juga sigap membantu dengan segala sumber daya agar kita semua tidak telat makan. Kami memang baru bertemu, tapi sudah sangat kompak.
Jauh dari teknologi
Bagi sebagian orang, tidak ada sinyal mengakibatkan kepala pusing, apalagi jika masih ada urusan yang belum selesai. Namun, tidak bagiku. Ketiadaan sinyal di Kampung Muncai jadi salah satu hal yang aku syukuri. Aku bisa lebih fokus terlibat di dalam dunia nyata, mengenal lebih dekat warga dan relawan, menikmati alam sekitar, dan bisa ngobrol tanpa bunyi “ndrettt, ndrettt.” Kampung Muncai membuatku kembali pada fitrahnya sebagai makhluk sosial.
Aku juga melihat warga kampung jarang memegang handphone. Bukan karena tidak memiliki ponsel, tetapi mereka lebih terbiasa berinteraksi langsung dengan tetangganya. Aku merasa kedekatan mereka terjaga karena minimnya interaksi dengan teknologi.. Warga kampung belum berubah menjadi generasi “nunduk”. Toh, ngobrol sambil menatap handphone sangat tidak sopan: kita tidak menghargai lawan bicara kita.
Aku yakin momen-momen ini sangat berharga untuk kita ceritakan ke anak-cucu kelak. Setiap detik di Kampung Muncai penuh dengan pembelajaran tentang kebersamaan, gotong royong, dan hidup sederhana. Ekspedisi Ramadhan ini mungkin akan terus diadakan, dengan tempat dan cerita berbeda. Namun, pengalaman di Kampung Muncai akan selalu menjadi kisah istimewa yang layak diceritakan berulang kali.
Jalan Mandor Basir 1 no.167, RT.01/RW.08, Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Depok
info@sekolahrelawan.com
+62 852 1855 3006(Info Donasi)
+62 821 3012 6939(Kemitraan)
+62 851 5984 8033(Kolaborasi Komunitas)
Copyright © Sekolah Relawan 2025