Di bulan September hingga Oktober 2024, aku mendapat kesempatan luar biasa untuk memimpin tim dalam rangka melaksanakan proyek sosial. Rasanya begitu terhormat bisa dipercaya oleh teman-teman dalam proyek ini. Aku sadar bahwa ketika aku mengambil tanggung jawab ini, ada beberapa tantangan yang akan muncul.
Pertama, tanggung jawabnya besar, tetapi berbeda konteksnya dari profesional. Anies Baswedan pernah mengatakan, “Relawan tak dibayar bukan karena tak bernilai, tapi karena tak ternilai.” Kutipan itu bagus untuk membesarkan hati para relawan. Memang ada benarnya juga kutipan itu.
Tetapi, disisi lain, ada batasan yang boleh atau tidak boleh aku lakukan. Seperti misalnya, tidak memaksa timku untuk menjawab chat dengan cepat. Kenapa tidak? Timku tidak terikat kontrak apapun untuk melakukan project ini. Mereka tulus meluangkan waktunya untuk mengerjakan project ini. Kalau aku membayar ketulusan mereka dengan paksaan, artinya aku melanggar batas yang boleh aku lakukan.
Oleh karenanya, ketulusan mereka harus aku bayar dengan perlakuanku yang humanis dan empatik. Aku menghargai waktu mereka untuk membalas chat maupun ikut hadir dalam rapat (online dan offline). Lalu, mengucapkan terima kasih pada apapun yang telah mereka lakukan untuk mendukung social project ini.
Aku dan anggota timku saling memahami bahwa mengerjakan social project ini bukanlah prioritas utama. Prioritas utama kita adalah bekerja dan kuliah (mengerjakan skripsi ataupun tugas). Terkadang, karena bukan prioritas utama, relawan menjadi hilang semangatnya. Energinya telah terkuras karena mengerjakan hal-hal lain yang lebih prioritas.
Oleh karena itu, aku harus lebih semangat dari timku. Setidaknya, aku bisa menularkan semangat tersebut kepada timku. Sulit? Sangat sulit! Apalagi dengan pekerjaan yang tiada henti, entah itu full-time ataupun freelance. Karena kesibukanku juga, aku harus mencari cara agar komunikasi tetap berjalan dan tim tetap engage. Satu cara yang menurutku cukup works adalah melakukan komunikasi berkala di grup.
Komunikasi berkala di grup untuk menjaga keterlibatan mereka. Misalnya, memberikan update tentang hasil survei, mengajak diskusi untuk membuat lebih banyak orang berdonasi, dan lain sebagainya. Setidaknya, project ini tetap berjalan, sehingga timku mengetahui setiap keberhasilan kecil.
Meskipun sudah rutin menjalin komunikasi, ada saja relawan yang tiba-tiba menghilang. Penyebabnya bervariasi, mulai dari ada prioritas yang lebih penting, tidak nyaman, tidak diperhatikan, hingga burnout. Itu sebenarnya wajar karena menjadi relawan bermodalkan semangat dan niat tulus. Kedua hal tersebut bisa melemah seiring dengan waktu.
Namun, terpaku pada relawan yang ghosting bisa menutup mata kita bahwa masih ada orang-orang yang memiliki komitmen yang tinggi. Jujur, aku merasa lebih tenang karena banyak anggota timku yang semangatnya tinggi dan ingin menyelesaikan project-nya sampai tuntas. Mengalihkan fokus kepada teman-teman yang aktif dan siap membantu ternyata jauh lebih efektif daripada menghabiskan energi mengharapkan semua orang bisa hadir dan terlibat secara sempurna.
Singkat cerita, menjadi pemimpin teman-teman relawan itu sangat sulit. Hanya orang-orang yang bermental baja yang sanggup menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Bagiku, orang yang menjadi pemimpin relawan adalah orang-orang yang berkomitmen tinggi dan rela mengorbankan waktunya walaupun insentifnya tidak kasat mata.
Apakah aku bermental baja? Kalau boleh jujur, aku bisa bilang bahwa aku beruntung dikelilingi oleh tim yang hebat. Timku sangat akomodatif dan bisa diandalkan. Punggungku menjadi lebih terlindungi karena ada timku yang mau dan mampu untuk membantuku menyelesaikan project ini.
Bagiku, menjadi pemimpin social project ini bukan hanya sekadar memberi instruksi. Aku paham bahwa menjadi relawan itu juga perlu profesionalitas. Tetapi, kita perlu sadar juga akan batas-batas yang boleh kita lewati atau tidak. Kita perlu peka kondisi tim, apakah masih semangat atau kehilangan antusiasme.
Kedepannya, jika ada kesempatan lagi untuk memimpin, aku akan lebih siap dalam menghadapi tantangan seperti ini. Apalagi, sudah cukup lama aku tidak memimpin social project. Aku belajar bahwa kepemimpinan bukan hanya soal hasil akhir, tetapi juga tentang proses, komunikasi, dan menjaga hubungan baik dengan semua anggota tim. Melalui proses ini, aku merasa telah tumbuh menjadi individu yang lebih baik dan lebih bijak dalam menghadapi berbagai tantangan.
Copyright © Sekolah Relawan 2023