Laporan implementasi program Sekolah Relawan
Gunung berapi kembar, yakni Lewotobi Laki-Laki dan Lewotobi Perempuan yang terletak di tenggara Pulau Flores, NTT merupakan gunung berapi aktif. Berdasarkan catatan aktivitas vulkanik dan riwayat letusannya. Gunung Lewotobi Laki-Laki lebih sering terjadi dari pada Gunung Lewotobi Perempuan.
Bahkan, Gunung Lewotobi Laki-Laki baru saja erupsi pada 4 November 2024 lalu. Letusan tersebut menyebabkan korban meninggal dunia, luka-luka, dan adanya kerusakan infrastruktur.
Akibat letusannya. Gunung Lewotobi Laki-Laki membawa sejuta cerita, salah satunya datang dari Amalina Nurrika atau biasa dikenal dengan dr. RIka, salah satu hidden hero around us yang membantu menyembuhkan masyarakat terdampak di Flores bersama Sekolah Relawan.
Ia berbagi kisah, bagaimana masyarakat bahu membahu menjaga kesehatan di tengah gentingnya masyarakat berbondong-bondong berlari dari desa ke desa yang lebih aman. Rumah dijatuhi kerikil panas menembus atap rumah dan merusak lantai. Pandangan terbatas asap tebal, nafas sesak dipenuhi debu vulkanik.
Ia mengatakan, trauma akan gemuruh besar masih menghantui masyarakat Flores setiap malam. Dinginnya malam, tenda yang padat huni, air yang terbatas, ketidak tersedianya MCK, banyaknya sampah plastik, udara yang belum bebas dari debu vulkanik, tentunya menghambat kebersihan dan mengganggu kesehatan secara bertahap. Mulai dari batuk pilek, pegal-pegal, demam, diare, hingga penyakit kulit.
Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang paling banyak terjadi, pengendalian terhambat, karena buku catatan kesehatan masing-masing tertinggal di rumah. Selain itu, tidak adanya kegiatan timbang lansia membuat mereka lama tidak minum obat. Terlebih, persediaan makan pada 2 minggu awal hanya seputar nasi dan mie, sumbangan dari orang-orang baik, serta sayur hijau yang bisa ditemukan di ladang. Cemilan kecil yang diberikan untuk anak-anak korban penyintas seakan hadiah besar yang ia terima.
Penyakit tidak menular dan malnutrisi benar-benar mengkhawatirkan, apabila letupan tidak kunjung selesai. Hal inilah yang membuat dr. Rika bersikeras mempelajari distribusi bantuan yang baik dan benar.
dr. Rika termenung melihat anak yang patah tulangnya, anak yang gizi buruk, penyintas dengan batuk berdarah, anak thalasemia, bayi gizi buruk, ibu yang hampir buta, penderita gangguan irama jantung, dan mungkin banyak yang tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. TIdak hanya karena mereka takut, tapi juga karena dana untuk transportasi menyebrang ke Kupang karena keterbatasan fasilitas di Larantuka.
Tapi dibalik segala keterbatasan, dr. RIka bercerita bahwa hatinya terenyuh melihat mereka saling tolong menolong membuat hunian lebih hangat, hunian lebih bersih, membangun MCK, merawat anak atau lansia yang keluarganya tidak ada, mengingatkan anak-anak untuk menyimpan cemilan untuk esok hari, dan sebagainya.
Ia mengucapkan terimakasih kepada pahlawan kesehatan, Suster Evi dan dr. Else yang memilih untuk tidak gentar melayani masyarakat saat erupsi terjadi, selalu siaga 24/7 di Puskesmas, serta segenap nakes yang tersebar di pengungsian lainnya.
“Ikhlas dan percaya bahwa mereka pasti mampu bertahan dan berjuang. Aku beruntung bisa banyak belajar, merasakan ramah & hangatnya masyarakat Flores Timur. Terima kasih keluargaku, para penyintas di Pululera, Konga, Nileknoheng & Lewolaga. Terimakasih Sekolah Relawan.” dr.RIka.
Copyright © Sekolah Relawan 2023